Sejarah Islam di Tiongkok: Masjid Huaisheng & Komunitas Muslim
Rahmatullah.id – Menelusuri jejak sejarah Islam di Tiongkok melalui Masjid Huaisheng di Guangzhou dan peran komunitas Muslim dalam budaya Tiongkok.
Pendahuluan: Harmoni Dua Peradaban
Islam dan Tiongkok memiliki hubungan sejarah yang panjang, penuh dengan kisah persahabatan, perdagangan, dan penyebaran budaya. Sejak abad ke-7 Masehi, Islam telah hadir di tanah Tiongkok melalui jalur perdagangan laut yang menghubungkan Timur Tengah dengan Asia Timur. Jejaknya masih dapat di temukan hingga kini, terutama di kota Guangzhou, tempat berdirinya salah satu masjid tertua di dunia, Masjid Huaisheng.
Kunjungan ke masjid bersejarah ini memberikan gambaran betapa Islam tidak hanya di terima, tetapi juga menyatu dengan budaya Tiongkok tanpa kehilangan identitas aslinya. Selain menjadi pusat ibadah, masjid ini juga menjadi saksi hubungan harmonis antara umat Islam dan masyarakat Tiongkok selama berabad-abad.
BACA JUGA : Refleksi dari Padang Arafah: Makna Wukuf dalam Kehidupan
Awal Mula Masuknya Islam ke Tiongkok
Sejarah mencatat bahwa Islam masuk ke Tiongkok pada masa Dinasti Tang (618–907 M). Ketika itu, para pedagang Arab dan Persia datang melalui Jalur Sutra, baik jalur darat maupun laut. Salah satu tokoh penting dalam penyebaran Islam di Tiongkok adalah Sa’d bin Abi Waqqas, sahabat Nabi Muhammad SAW, yang di percaya memimpin rombongan pertama umat Islam ke negeri tersebut.
Para pedagang Muslim membawa ajaran Islam dengan cara damai melalui interaksi ekonomi dan sosial. Mereka di kenal jujur, sopan, serta adil dalam berdagang, sehingga masyarakat Tiongkok menghormati mereka. Dari hubungan dagang itu, terbentuklah komunitas Muslim yang kuat di kota-kota pesisir seperti Guangzhou, Quanzhou, dan Hangzhou.
Masjid Huaisheng: Simbol Awal Penyebaran Islam
Salah satu peninggalan paling bersejarah dari masa awal Islam di Tiongkok adalah Masjid Huaisheng yang terletak di Guangzhou, Provinsi Guangdong. Nama “Huaisheng” berarti Masjid Kenangan Nabi, sebagai bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW.
Masjid ini di yakini di bangun pada abad ke-7, sekitar tahun 627 M, pada masa Dinasti Tang. Arsitekturnya sangat unik karena merupakan perpaduan antara gaya arsitektur Tiongkok klasik dan unsur Timur Tengah. Ciri khasnya adalah menara cahaya setinggi sekitar 36 meter yang berbentuk silinder dan di kenal sebagai Guangta atau Menara Cahaya. Menara ini dulunya berfungsi sebagai mercusuar bagi kapal-kapal Muslim yang datang melalui Laut Cina Selatan.
Keunikan Masjid Huaisheng bukan hanya pada bentuknya, tetapi juga pada maknanya. Masjid ini menjadi simbol kehadiran Islam di Asia Timur dan bukti bahwa ajaran Islam bisa berdampingan dengan budaya lokal tanpa pertentangan. Hingga kini, masjid ini masih aktif di gunakan untuk salat lima waktu dan menjadi destinasi penting bagi wisatawan Muslim dari seluruh dunia.
Komunitas Muslim di Guangzhou
Guangzhou di kenal sebagai salah satu kota dengan populasi Muslim tertua di Tiongkok. Komunitas Muslim di sini terdiri dari berbagai etnis, termasuk Hui, Uyghur, dan Kazakh. Mereka hidup berdampingan dengan etnis Han secara harmonis.
Kawasan sekitar Masjid Huaisheng di kenal sebagai Xiaodongying, yang telah lama menjadi pusat kehidupan masyarakat Muslim. Di kawasan ini, pengunjung dapat menemukan restoran halal, toko daging bersertifikat halal, hingga sekolah Islam. Kehidupan masyarakat di sana memperlihatkan bagaimana ajaran Islam tetap di jaga di tengah budaya yang berbeda.
Selain di Guangzhou, komunitas Muslim juga tersebar di berbagai wilayah seperti Xi’an, Yunnan, Ningxia, dan Xinjiang. Mereka memiliki identitas budaya sendiri namun tetap menjadi bagian integral dari bangsa Tiongkok. Pemerintah setempat juga memberikan ruang bagi mereka untuk mempertahankan tradisi dan beribadah sesuai keyakinannya.
Arsitektur Islam Bernuansa Tiongkok
Salah satu hal paling menarik dari keberadaan Islam di Tiongkok adalah perpaduan arsitektur antara Islam dan budaya Tiongkok. Hal ini terlihat jelas di Masjid Huaisheng maupun masjid-masjid lain seperti Masjid Niujie di Beijing dan Masjid Qingjing di Quanzhou.
Bangunan masjid di Tiongkok biasanya tidak memiliki kubah besar seperti di Timur Tengah. Sebaliknya, arsitekturnya lebih menyerupai pagoda atau kuil dengan atap melengkung, ukiran naga, dan hiasan kaligrafi Arab. Bentuk ini mencerminkan asimilasi budaya, di mana Islam diterima dan disesuaikan dengan tradisi arsitektur lokal tanpa kehilangan nilai spiritualnya.
Di dalam masjid, terdapat ruang salat yang luas dengan ornamen sederhana dan tulisan kaligrafi Arab bertuliskan ayat-ayat Al-Qur’an. Hal ini menunjukkan keseimbangan antara kesederhanaan ajaran Islam dan estetika budaya Tiongkok yang penuh makna simbolik.
Kehidupan Muslim Tiongkok di Masa Kini
Kini, jumlah umat Islam di Tiongkok diperkirakan mencapai lebih dari 25 juta jiwa. Mereka berasal dari berbagai etnis, dengan mayoritas dari suku Hui dan Uyghur. Komunitas Muslim memiliki peran penting dalam bidang perdagangan, pendidikan, dan kuliner. Banyak restoran halal di kota besar seperti Beijing, Shanghai, dan Guangzhou yang dijalankan oleh keluarga Muslim dan menjadi bagian dari daya tarik wisata kuliner lokal.
Meski sempat mengalami berbagai tantangan sosial dan politik, semangat menjaga identitas Islam tetap kuat di kalangan umat Muslim Tiongkok. Pendidikan agama, tradisi halal, dan perayaan hari besar Islam seperti Idul Fitri dan Idul Adha masih dijalankan dengan penuh semangat. Di Guangzhou, setiap Jumat, ribuan jamaah memenuhi Masjid Huaisheng untuk salat berjemaah, menjadi simbol persaudaraan lintas generasi.
Makna Historis dan Spiritualitas
Masjid Huaisheng bukan sekadar tempat ibadah, tetapi juga monumen sejarah yang menggambarkan pertemuan dua peradaban besar: Islam dan Tiongkok. Melalui masjid ini, kita bisa belajar tentang toleransi, adaptasi budaya, dan kedamaian dalam berdakwah.
Masjid ini telah bertahan lebih dari 1.300 tahun, melewati berbagai dinasti, perang, dan perubahan zaman. Namun, nilai spiritualnya tetap terjaga: menjadi pusat penyebaran Islam yang damai, moderat, dan penuh kebijaksanaan.
Penutup: Warisan Abadi dari Timur Jauh
Jejak sejarah Islam di Tiongkok merupakan kisah luar biasa tentang bagaimana sebuah ajaran bisa hidup berdampingan dengan budaya yang sangat berbeda. Melalui Masjid Huaisheng dan komunitas Muslim di Guangzhou, kita menyaksikan bahwa Islam bukan hanya agama yang tumbuh di Timur Tengah, tetapi juga bagian dari mozaik kebudayaan Asia Timur.
Kunjungan ke Masjid Huaisheng bukan sekadar perjalanan wisata, tetapi juga refleksi spiritual tentang kekuatan iman dan harmoni antar budaya. Dari menara cahaya yang menjulang hingga doa yang terlantun di ruang salatnya, semuanya menjadi pengingat bahwa persaudaraan umat manusia bisa melampaui batas geografis dan perbedaan ras.
Islam di Tiongkok bukanlah kisah masa lalu — ia adalah warisan yang hidup, berdenyut dalam harmoni di antara lampion, kaligrafi, dan azan yang menggema lembut di jantung Guangzhou.
